Selain kepada MUI, surat tersebut juga akan ditembuskan kepada Presiden RI, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Ketua Gabungan Perusahaan Rokok Indonesia (GAPRI), dan Bupati Kudus. Di kalangan MUI sendiri status hukum rokok masih menjadi diperdebatkan. Alasan yang melarang mengkonsumsi rokok, antara lain, didasarkan pada pertimbangan timbulnya kerusakan pada badan, akal dan harta benda, menimbulkan penyakit jantung, paru-paru, impotensi dll. Sedangkan merusak diri sendiri adalah perbuatan terlarang. Pertimbangan status hukum mubah (boleh), karena asal-muasal sesuatu itu mubah. Dan rokok tidak memabukkan. Sementara haramnya khamr (miniman keras) adalah karena ada unsur memabukkan. Kalau rokok membahayakan pada sebagian orang, itu kondisional.
Pertimbangan makruh (lebih baik dihindari), karena menimbulkan bau yang kurang enak. Hal ini dianalogikan dengan makan bawang mentah yang diminta menjauh dari masjid oleh Nabi Muhammad SAW karena baunya mengganggu orang lain. Menurut Ketua MUI Kudus KH Syafiq Naschan, tidak ada dalil yang pasti tentang haramnya rokok, sehingga hanya menimbulkan keraguan. "Sesuatu itu tidak bisa dihukumi haram dengan keraguan. Maka hukum merokok menjadi makruh." Lebih lanjut menurut KH Syafiq, jika MUI pusat menerbitkan fatwa haram rokok, maka fatwa tersebut akan mandul yang terjadi justru MUI akan banyak mendapat protes keras dari masyarakat. "Formulasi fatwa harus memperhatikan kemaslahatan kaum muslimin. Fatwa tidak boleh menyakiti hati atau menimbulkan keresahan masyarakat muslim atau penguasanya, atau memecah belah masyarakat atau menimbulkan fitnah diantara mereka. Apalagi akrena kepentingan hawa nafsu, atau menyalahi syaria'at agama," tambah KH Syafiq.
Di tempat yang sama, Head of Corporate Affair PT Djarum, Suwarno M Serad dengan bahasa yang beda juga menolak fatwa haram rokok. Menurut Suwarno, sektor industri tembakau menjadi satu-satunya industri yang mampu menciptakan nilai tambah tinggi serta dinikmati oleh masyarakat, bangsa dan negara. "Sebaliknya nilai tambah yang tinggi dari komoditi lain seperti mineral, tambang, CPO, karet, dan kakao justru dinikmati oleh negara pengimpor," jelas Suwarno. (NU)